Minggu, 15 April 2012

yuk mengenal tokoh-tokoh sosiologi :)

TOKOH-TOKOH SOSIOLOGI
  • August Comte


Riwayat Hidup

Auguste Comte dilahirkan di Montpellier, Prancis tahun 1798, keluarganya beragama khatolik dan berdarah bangsawan. Dia mendapatkan pendidikan di Ecole Polytechnique di Prancis, namun tidak sempat menyelesaikan sekolahnya karena banyak ketidakpuasan didalam dirinya, dan sekaligus ia adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak.
Comte akhirnya memulia karir profesinalnya dengan memberi les privat bidang matematika. Namun selain matematika ia juga tertarik memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat terutama minat ini tumbuh dengan suburnya setelah ia berteman dengan Saint Simon yang mempekerjakan Comte sebagai sekretarisnya.
Kehidupan ekonominya pas-pasan, hampir dapat dipastikan hidupa dalam kemiskinan karena ia tidak pernah dibayar sebagaimana mestinya dalam memberikan les privat, dimana pada waktu itu biaya pendidikan di Prancis sangat mahal.
Pada tahun 1842 ia menyelesaikan karya besarnya yang berjudul Course of Positive Philosophy dalam 6 jilid, dan juga karya besar yang cukup terkenal adalah System of Positive Politics yang merupakan persembahan Comte bagi pujaan hatinya Clothilde de Vaux, yang begitu banyak mempengaruhi pemikiran Comte di karya besar keduanya itu. Dan dari karyanya yang satu ini ia mengusulkan adanya agama humanitas, yang sangat menekankan pentingnya sisi kemanusiaan dalam mencapai suatu masyarakat positifis.
Comte hidup pada masa akhir revolusi Prancis termasuk didalamnya serangkaian pergolakan yang tersu berkesinambungan sehingga Comte sangat menekankan arti pentingnya Keteraturan Sosial.
Pada tahun 1857 ia mengakhiri hidupnya dalam kesengsaraan dan kemiskinan namun demikian namanya tetap kita kenang hingga sekarang karena kegemilangan pikiran serta gagasannya.

Konteks Sosial dan Lingkungan Intelektual

Untuk memahami pemikiran Auguste Comte, kita harus mengkaitkan dia dengan faktor lingkungan kebudayaan dan lingkungan intelektual Perancis. Comte hidup pada masa revolusi Perancis yang telah menimbulkan perubahan yang sangat besar pada semua aspek kehidupan masyarakat Perancis. Revolusi ini telah melahirkan dua sikap yang saling berlawanan yaitu sikap optimis akan masa depan yang lebih baik dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebaliknya sikap konservatif atau skeptis terhadap perubahan yang menimbulkan anarki dan sikap individualis.
Lingkungan intelektual Perancis diwarnai oleh dua kelompok intelektual yaitu para peminat filsafat sejarah yang memberi bentuk pada gagasan tentang kemajuan dan para penulis yang lebih berminat kepada masalah-masalah penataan masyarakat. Para peminat filsafat sejarah menaruh perhatian besar pada pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah sejarah memiliki tujuan, apakah dalam proses historis diungkapkan suatu rencana yang dapat diketahui berkat wahyu atau akal pikiran manusia, apakah sejarah memiliki makna atau hanyalah merupakan serangkaian kejadian yang kebetulan. Beberapa tokoh dapat disebut dari Fontenelle, Abbe de St Pierre, Bossuet, Voltaire, Turgot, dan Condorcet. Para peminat masalah-masalah penataan masyarakat menaruh perhatian pada masalah integrasi dan ketidaksamaan. Tokoh-tokohnya antara lain Montesquieu, Rousseau, De Bonald.
Dua tokoh filusuf sejarah yang mempengaruhi Comte adalah turgot dan Condorcet. Turgot merumuskan dua hukum yang berkaitan dengan kemajuan. Yang pertama berisi dalil bahwa setiap langkah berarti percepatan. Yang kedua adalah hukum tiga tahap perkembangan intelektual, pertama, orang pertama menemukan sebab-sebab adanya gejala-gejala dijelaskan dalam kegiatan mahluk-mahluk rohaniah, kedua, gejala-gejala dijelaskan dengan bantuan abstraksi dan pada tahap ketiga orang menggunakan matematika dan eksperimen. Menurut Condorcet, Studi sejarah mempunyai dua tujua, pertama, adanya keyakinan bahwa sejarah dapat diramalkan asal saja hukum-hukumnya dapat diketahui (yang diperlukan adalah Newton-nya Sejarah). Tujuan kedau adalah untuk menggantikan harapan masa depan yang ditentukan oleh wahyu dengan harapan masa depan yang bersifat sekuler. Menurut Condorcet ada tiga tahap perkembangan manusia yaitu membongkar perbedaan antar negara, perkembangan persamaan negara, dan ketiga kemajuan manusia sesungguhnya. Dan Condorcet juga mengemukakan bahwa belajar sejarah itu dapat melalui, pengalaman masa lalu, pengamatan pada kemajuan ilmu-ilmu pengetahuan peradaban manusia, da menganalisa kemajuan pemahaman manusia terhadap alamnya.
Dan penulis yang meminati masalah penataan masyarakat, Comte dipengaruhi oleh de Bonald, dimana ia mempunyai pandangan skeptis dalam memandang dampak yang ditimbulkan revolusi Perancis. Baginya revolusi nii hanya menghasilkan keadaan masyarakat yang anarkis dan individualis. De Bonald memakai pendekatan organis dalam melihat kesatuan masyarakat yang dipimpin oleh sekelompok orang yang diterangi semangat Gereja. Individu harus tunduk pada masyarakat.

Comte dan Positivisme

Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri.
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
  1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
  2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
  3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
  4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.

Hukum Tiga Tahap Auguste Comte

Comte termasuk pemikir yang digolongkan dalam Positivisme yang memegang teguh bahwa strategi pembaharuan termasuk dalam masyarakat itu dipercaya dapat dilakukan berdasarkan hukum alam. Masyarakat positivus percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengendalikan manusia dan gejala sosial da[at digunakan sebagai dasar untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial dan politik untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu.
Comte juga melihat bahwa masyarakat sebagai suatu keseluruhan organisk yang kenyataannya lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung. Dan untuk mengerti kenyataan ini harus dilakukan suatu metode penelitian empiris, yang dapat meyakinkan kita bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.
Untuk itu Comte mengajukan 3 metode penelitian empiris yang biasa juga digunakan oleh bidang-bidang fisika dan biologi, yaitu pengamatan, dimana dalam metode ini [eneliti mengadakan suatu pengamatan fakta dan mencatatnya dan tentunya tidak semua fakta dicatat, hanya yang dianggap penting saja. Metode kedua yaitu Eksperimen, metode ini bisa dilakukans ecara terlibat atau pun tidak dan metode ini memang sulit untuk dilakukan. Metode ketiga yaitu Perbandingan, tentunya metode ini memperbandingkan satu keadaan dengan keadaan yang lainnya.
Dengan menggunakan metode-metode diatas Comte berusaha merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner menjadi 3 kelompok yaitu, pertama, Tahap Teologis, merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia, dan dalam periode ini dibagi lagi ke dalam 3 subperiode, yaitu Fetisisme, yaitu bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Politheisme, muncul adanya anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang mengatur kehidupannya atau gejala alam. Monotheisme, yaitu kepercayaan dewa mulai digantikan dengan yang tunggal, dan puncaknya ditunjukkan adanya Khatolisisme.
Kedua, Tahap Metafisik merupakan tahap transisi antara tahap teologis ke tahap positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi. Ketiga,Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu sifatnya sementara dan tidak mutlak, disini menunjukkan bahwa semangat positivisme yang selalu terbuka secara terus menerus terhadap data baru yang terus mengalami pembaharuan dan menunjukkan dinamika yang tinggi. Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum yang bersifat uniformitas.
Comte mengatakan bahwa disetiap tahapan tentunya akan selalu terjadi suatu konsensus yang mengarah pada keteraturan sosial, dimana dalam konsensus itu terjadi suatu kesepakatan pandangan dan kepercayaan bersama, dengan kata lain sutau masyarakat dikatakan telah melampaui suatu tahap perkembangan diatas apabila seluruh anggotanya telah melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang ada, ada suatu kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat yang mengarahkan masyarakat untuk melakukan konsensus demi tercapainya suatu keteraturan sosial.
Pada tahap teologis, keluarga merupakan satuan sosial yang dominan, dalam tahap metafisik kekuatan negara-bangsa (yang memunculkan rasa nasionalisme/ kebangsaan) menjadi suatu organisasi yang dominan. Dalam tahap positif muncul keteraturan sosial ditandai dengan munculnya masyarakat industri dimana yang dipentingkan disini adalah sisi kemanusiaan. (Pada kesempatan lain Comte mengusulkan adanya Agama Humanitas untuk menjamin terwujudnya suatu keteraturan sosial dalam masyarakat positif ini).
  • Karl Marx


Berkas:Karl Marx.jpg


Marx merupakan tokoh besar dalam sosiologi dimana dia masuk dalam kategoris aliran klasik, selain Comte, Durkheim, Weber, Simmel, Spencer, dll. Karl Marx dilahirkan di TrierJerman, daerah rhine tahun 1818. Berasal dari keluarga borjuis dan berpendidikan. Pada usia 18 Marx belajar hukum di universitas Bonn, kemudian pnidah ke Universitas Berlin.

Disana, sewaktu Marx masih muda, begitu terkesima dengan filsafat Hegel, dimana ketika itu arus besar pengikut Hegel begitu meluas. Padangan Hegel yang terkenal Idealistik, dimana dia percaya bahwa kekuatan yang mendorong perubahan sejarah adalah munculnya ide-ide dengan mana roh akal budi menjadi lebih lengkap manifestasinya.
Tetapi sebagai penganut Hegel, Marx adalah penganut yang kritis yang mengembangkan posisi teoritis dan filosofisnya. Tetapi Marx tetap sepakat dengan bentuk analisa dialektik-nya hegel. Marx sebenarnya ingin berkarir di dunia akademis, tetapi karena sponsornya dipecat karena pandangan-pandangan kiri dan anti agama, maka tertutuplah pintu masuk Marx untuk ke dunia akademis. Akhirnya marx berkarir di media (surat kabar) sebagai pemimpin redaksi pada koran yang radikal-liberal. Setelah Marx menikah lalu Marx pindah ke paris, dan terlibat dalam kegiatan radikal. Paris pada masa itu merupakan suatu pusat liberalisme dan radikalisme sosial serta intelektual penting di Eropa. Marx berkenalan dengan pemikir-pemikir penting dalam pemikiran sosialis dan tokoh-tokoh revolusioner seperti St. Simon. Blanqui, dll.
Hal tersebut akhirnya mengubah keyakinan marx akan Penyalahgunaan sistem kapitalis yang meluas dapat dihilangkan oleh perubahn sosial yang hanya didukung oleh elit intelektual saja. Pendekatan itu bagi Marx mengabaikan kondisi materil dan sosial yang sebenarnya dan taraf kesadaran kelas-kelas buruh. Di Paris Marx bersahabat dengan Friedrich Engels yang berkarya mengenai interpretasi komprehensif tentang perubahan dan perkembangan sejarah sebagai alternatif terhadap interpretasi Hegel mengenai sejarah, yang terkenal dengan The German Ideology.
Pada tahun 1845 Marx diusir dari Paris, atas karya-karyanya yang berbau sosialis. Lalu akhirnya setelah itu Marx semakin tertarik dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosialis. Semasa hidupnya Das kapital merupakan karya terbesar. Selain karya-karya Marx yang lain yang akan dijelaskan dalam tulisan ini mengenai pemikiran-pemikiran Karl Marx, yang tidak hanya dalam Das Kapital.
Pemikiran-Pemikiran Marx
I. Materialisme Historis
Materialisme Historis merupakan istilah yang sangat berguna untuk memberi nama pada asumsi-asumsi dasar menganai teorinya. Dari The Communist Manifesto dan Das Kapital, dimana penekanan Marx adalah pada kebutuhan materil dan perjuangan kelas sebagai akibat dari usaha-usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Menurut pandangan ini, ide-ide dan kesadaran manusia tidak lain daripada refleksi yang salah tentang kondisi-kondisi materil. Perhatian ini dipusatkan Marx sebagai uasaha Marx untuk meningkatkan rvolusi sosialis sehingga kaum proletariat dapat menikmati sebagian besar kelimpahan materil yang dihasilkan oleh industrialisme.
Menurut Marx, suatu pemahaman ilmiah yang dapat diterima tentang gejala sosial menuntut si ilmuwan untuk mengambil sikap yang benar terhadap hakikat permasalahan itu. hal ini mencakupi pengakuan bahwa manusia tidak hanya sekedar organisme materil, sebaliknya manusia memiliki kesadaran diri. Dimana, mereka memiliki suatu kesadaran subyektif tentang dirinya sendiri dan situasi-situasi materialnya.
Penjelasan Marx pada Materialistis tentang perubahan sejarah, diterapkan pada pola-pola perubahan sejarah yang luas, penekanan materialistis ini berpusat pada perubahan-perubahan cara atau teknik-teknik produksi materil sebagai sumber utama perubahan sosial budaya. Dalam The German Ideology Marx menunjukkan bahwa manusia menciptakan sejarahnya sendiri selama mereka berjuang menghadapi lingkungan materilnya dan terlibat dalam hubungan-hubungan sosial yang terbatas dalam proses-proses ini. Tetapi kemampuan manusia untuk membuat sejarahnya sendiri, dibatasi oleh keadaan lingkungan materil dan sosial yang sudah ada. Ketegangan-ketegangan yang khas dan kontradiksi-kontradiksi yang menonjol akan berbeda-beda menurut tahap sejarahnya serta perkembangan materil sosialnya. Tetapi dalam semua tahap, perjuangan individu dalam kelas-kelas yang berbeda untuk menghadapi lingkungan materil dan sosialnya yang khusus agar bisa tetap hidup dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, merupakan sumber utama perubahan untuk tahap berikutnya
Marx mengandaikan bahwa pemilikan daya-daya produksi masyarakat secara komunal dan suatu distribusi yang lebih merata yang didasarkan pada kebutuhan manusia, bukan kerakusan borjuis.
II. Infrastruktur Ekonomi dan Superstruktur Sosiobudaya
Marx berulang-ulang menekankan ketergantungan politik pada struktur ekonomi, tipe analisa yang sama berlaku untuk pendidikan , agama, keluarga, dan semua institusi sosial lainnya. Sama halnya dengan kebudayaan suatu masyarakat, termasuk standar-standar moralitasnya, kepercayaan-kepercayaan agama, sistem-sistem filsafat, ideologi politik, dan pola-pola seni serta kreativitas sastra juga mencerminkan pengalaman hidup yang riil dari orang-orang dalam hubungan-hubungan ekonomi mereka. hubungan antara infrastruktur ekonomi dan superstruktur budaya dan struktur sosial yang dibangun atas dasar itu merupakan akibat langsung yang wajar dari kedudukan materialisme historis. Adaptasi manusia terhadap lingkungan materilnya selalu melalui hubungan-hubungan ekonomi tertentu, dan hubungan-hubungan ini sedemikian meresapnya hingga semua hubungan-hubungan sosial lainnya dan juga bentuk-bentuk kesadaran, dibentuk oleh hubungan ekonomi itu.
Mengenai determinisme ekonomi Marx tidak menjelaskan secara konsisten, sekalipun ekonomi merupakan dasar seluruh sistem sosio budaya, institusi-institusi lain dapat memperoleh otonomi dalam batas tertentu, dan malah memperlihatkan pengaruh tertentu pada struktur ekonomi. Pada akhirnya struktur ekonomi itu tergantung terhadapnya.
III. Kegiatan dan Alienasi
Inti seluruh teori Marx adalah proposisi bahwa kelangsungan hidup manusia serta pemenuhan kebutuhannya tergantung pada kegiatan produktif di mana secara aktif orang terlibat dalam mengubah lingkungan alamnya. Namun, kegiatan produktif itu mempunyai akibat yang paradoks dan ironis, karena begitu individu mencurahkan tenaga kreatifnya itu dalam kegiatan produktif , maka produk-produk kegiatan ini memiliki sifat sebagai benda obyektif yang terlepas dari manusia yang membuatnya.
Tentang alienasi menurut Marx merupakan akibat dari hilangnya kontrol individu atas kegiatan kreatifnya sendiri dan produksi yang dihasilkannya. Pekerjaan dialami sebagai suatu keharusan untuk sekedar bertahan hidup dan tidak sebagai alat bagi manusia untuk mengembangkan kemampuan kreatifnya. Alienasi melekat dalam setiap sistem pembagian kerja dan pemilikan pribadi, tetapi bentuknya yang paling ekstrem ada di dalam kapitalisme, dimana mekanisme pasar yang impersonal itu, menurunkan kodrat manusia menjadi komoditi, dilihat sebagai satu pernyataan hukum alam dan kebebasan manusia. bentuk ekstrem alienasi itu merupakan akibt dari perampasan produk buruh oleh majikan kapitalisnya.
Marx menekankan bahwa alienasi kelihatannya benar-benar tidak dapat dielakkan dalam pandangan mengenai kodrat manusia yang paradoks. Di satu pihak manusia menuangkan potensi manusiawinya yang kreatif dalam kegiatannya, dilain pihak, produk-produk kegiatan kreatifnya itu menjadi benda yang berada di luar kontrol manusia yang menciptakannya yang menghambat kreativitas mereka selanjutnya.
Bagi Marx alienasi akan berakhir, bila manusia mampu untuk mengungkapkan secara utuh dalam kegiatannya untuk mereka sendiri, sehingga ekspolitasi dan penindasan tidak menjangkiti manusia lagi.
IV Kelas Sosial, Kesadaran Kelas, dan Perubahan sosial
Salah satu kontradiksi yang paling mendalam dan luas yang melekat dalam setiap masyarakt di mana ada pembagian kerja dan pemilikan pribadi adalah pertentangan antara kepentingan-kepentingan materil dalam kelas-kelas sosial yang berbeda. Marx memang bukan orang pertama yang menmukan konsep kelas, tapi menurut Marx pembagian kelas dalam masyarakat adalah pembagian antara kelas-kelas yang berbeda, faktor yang paling penting mempengaruhi gaya hidup dan kesadaran individu adalah posisi kelas. Ketegangan konflik yang paling besar dalam masyarakat, tersembunyi atau terbuka adalah yang terjadi antar kelas yang berbeda, dan salah satu sumber perubahan sosial yang paling ampuh adalah muncul dari kemenangan satu kelas lawan kelas lainnya.
Marx beranggapan bahwa pemilikan atau kontrol atas alat produksi merupakan dasar utama bagi kelas-kelas sosial dalam semua tipe masyarakat, dari masyarakat yang primitif sampai pada kapitalisme modern.
Mengenai konsep kelas Marx, mengidentifikasikan tiga kelas utama dalam masyarakat kapitalis, yaitu buruh upahan, kapitalis, dan pemilik tanah. Kelas tersebut dibedakan berdasarkan pendapatan pokok yakni upah, keuntungan, sewa tanah untuk masing-masinnya. Selanjutnya Marx juga melakukan pembedaan antara dimensi obyektif dan subyektif antara kepentingan kelas. Kesadaran kelas merupakan satu kesadaran subyektif akan kepentingan kelas obyektif yang mereka miliki bersama orang-orang lain dalam posisi yang serupa dalam sistem produksi. Konsep “kepentingan” mengacu pada sumber-sumber materil yang aktual yang diperlukan kelas untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan individu. Kurangnya kesadaran penuh akan kepentingan kelas sangat berhubungan dengan penerimaan yang berkembang untuk mendukung kelas dominan dan struktur sosial yang ada. Pengaruh ideologi inilah yang memunculkan “kesadaran palsu”.
Bila nanti terjadi krisis ekonomi dalam sistem kapitalis, menurut Marx akan menjelaskan bahwa kontradiksi-kontradiksi internal dalam kapitalisme akan mencapai puncak gawatnya dan sudah tiba waktunya bagi kaum proletar untuk melancarkan suatu revolusi yang berhasil
VI Kritik Terhadap Masyarakat Kapitalis
Menurut Marx dalam Das kapital, ia menekankan bahwa untuk mengungkapkan dinamika-dinamika yang mendasar dalam sistem kapitalis sebagai sistem yang bekerja secara aktual, yang berlawanan dengan versi yang diberikan oleh para ahli ekonomi politik sangat bersifat naif.
Marx menerima teori nilai tenaga kerja dari nilai pasar suatu komoditi ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang menghasilkan produksi itu. nilai merupakan faktor utama menetukan harga komoditi.
Gagasan Marx dalam hal ini selanjutnya dikenal dengan istilah “surplus Value” atau teori nilai lebih yaitu pertukaran yang tidak proporsional antara nilai pakai dan nilai tukar. Dalam hal ini keuntungan yanng lebih besar dimiliki oleh para kapitalis, dan buruh tidak berkuasa atas nilai lebih yng telah dihasilkannya sebagai tenaga kerja.
Ketika Marx hidup waktu Di Eropa sedang terjadi revolusi industri, lalu dalam hal ini Marx melakukan kritik atas ekspansi kapitaslis dan korelasinya dengan krisis ekonomi. Menurut marx penggunaan mesin baru yang hemat buruh merusakkan keseimbangan antara kemampuan produktif dan permintaan, dan karena itu mempercepat krisis ekonomi. Selain itu juga menurut marx eskpansi Kapitalis akan membuat individu-individu semakin teralienasi. Dan paradoks atas kapitalisme akan muncul.


  •  Max Weber
A.      Kehidupan dan Karya
Max Weber lahir di Erfurt, Thuringia, Jerman tahun 1864 dan meninggal di Munich 1920. Selama hidupnya Max Weber menghasilkan beberapa karya :
  1. Methodological Essays (1902)
  2. The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1902-1904)
  3. Economy and Society (1910-1914)
  4. Sociology of Religion (1916)
B.       Teori Tindakan Sosial
Max Weber mengungkapkan bahwa dunia sebagaimana kita saksikan terwujud karena tindakan sosial. Manusia melakukan sesuatu karena mereka memutuskan untuk melakukan itu, untuk mencapai apa yang mereka kehendaki. Setelah memilih sasaran, mereka memperhitungkan keadaan, kemudian memilih tindakan.
Bagi Max Weber, struktur sosial adalah produk (hasil) dari tindakan itu, cara hidup adalah produk dari pilihan yang dimotivasi. Memahami realitas sosial yang dihasilkan oleh tindakan itu berarti menjelaskan mengapa manusia menentukan pilihan. Teori sosiologi bukanlah teori mengenai sistem sosial yang memiliki dinamikanya sendiri, melainkan mengenai makna dibalik tindakan individu. Max Weber menyebut metode yang dikembangkannya sebagai verstehen.
Inti dari tindakan sosial adalah tindakan yang penuh arti dari individu yakni tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain.
Max Weber mengemukakan lima ciri pokok  yang menjadi sasaran penelitian sosiologi, yaitu :
  1. Tindakan manusia yang menurut si pelaku mengandung makna yang subyektif dan ini meliputi berbagai tindakan nyata.
  2. Tindakan nyata dan bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif
  3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang dalam bentuk persetujuan secara diam-diam
  4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu
  5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang itu.
Selain memusatkan perhatian pada tindakan yang berorientasi tujuan dan motivasi  pelaku, Weber juga yakin bahwa cara terbaik untuk memahami berbagai masyarakat adalah menghargai bentuk-bentuk tipikal tindakan yang menjadi ciri khasnya dengan merekonstruksi makna dibalik kejadian-kejadian sejarah yang menghasilkan struktur-struktur dan bentukan-bentukan sosial.
Menurut Max Weber, kita bisa membandingkan struktur beberapa masyarakat dengan memahami alasan-alasan mengapa warga masyarakat bertindak, kejadian-kejadian historis secara berurutan yang mempengaruhi karakter mereka dan memahami tindakan pada pelakunya yang hidup dimasa kini, akan tetapi walaupun demikian kita tidak bisa menggeneralisasi semua masyarakat atau semua struktur sosial.

C.      Tipe-tipe Tindakan
Max Weber mengklasifikasi empat tipe tindakan yang dibedakan dalam konteks motif pelakunya, sebagai berikut :
  1. Tindakan Tradisional (Traditional Action) yakni tindakan sosial murni, tindakan yang didasarkan pada kebiasaa-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu saja.
  2. Tindakan Afektif (Affectual Action) yakni tindakan yang dibuat-buat, dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si pelaku. Tindakan ini sukar dipahami, kurang atau tidak rasional
  3. Tindakan berorientasi tujuan atau penggunaan rasionalitas instrumental (Werktrational Action) yakni tindakan dimana pelaku menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan yang paling tepat ataukah lebih tepat untuk mencapai tujuannya. Tindakan ini menunjuk kepada tujuan itu sendiri. Tindakan ini rasional, karena pilihan-pilihan terhadap cara-cara kiranya sudah menentukan tujuan yang diinginkan.
  4. Tindakan berorientasi nilai atau penggunaan rasionalitas nilai (Zwerk Rational) yakni tindakan sosial murni, dalam tindakan ini pelaku tidak hanya sekedar menilai cara yang baik untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri.
D.      Tipe-tipe Kekuasaan
Bagi Max Weber, dominasi adalah salah satu unsur yang terpenting dalam tindakan sosial, dalam sebagian besar variasi tindakan sosial, dominasi memainkan peranan besar tanpa kecuali setiap lapangan tindakan sosial sangat dipengaruhi oleh struktur dominasi.
Dari Max Weber diidentifikasi cara-cara memperoleh legitimasi oleh yang berkuasa yakni Tradisional, kharismatik dan Legal Rasional. Sistem otoritas legal rasional hanya dapat berkembang dalam masyarakat barat modern dan hanya dalam sistem otoritas rasional legal itulah birokrasi modern dapat berkembang penuh. Weber melihat birokrasi sebagai contoh klasik dari tindakan rasional (rasionalisasi).
Masyarakat lain di dunia tetap didominasi oleh sistem otoritas tradisional atau kharismatik yang umumnya merintangi perkembangan sistem hukum rasional dan birokrasi modern. Sistem otoritas tradisional berasal dari sistem kepercayaan di zaman kuno, contohnya adalah seorang pemimpin yang berkuasa karena garis keluarga atau sukunya selalu merupakan pemimpin kelompok.
Pemimpin kharismatik mendapatkan otoritasnya dari kemampuan atau ciri-ciri luar biasa atau mungkin dari keyakinan pihak pengikut bahwa pemimpin itu memang mempunyai ciri-ciri seperti itu. Meski dua tipe kekuasaan tersebut mempunyai arti penting dalam sejarah masa lalu, Max Weber yakin bahwa masyarakat akan menuju kepada sistem otoritas legal rasional.

E.       Tipe-tipe Ketidaksetaraan (Kelas)
Seperti Marx, Max Weber juga melihat hubungan-hubungan yang tidak setara dalam kehidupan sosial (kelas), akan tetapi Max Weber menolak konsep Marx yang mengatakan bahwa ketidaksetaraan kelas menjadi bagian terpenting. Bagi Max Weber, kelompok status yang mengandung prestis tertentu dan partai-partai yang memiliki pengaruh politik dapat menjadi sumber keuntungan yang signifikan sebagai anggota kelas.
Kelas menurut Max Weber tidak semata-mata berdasarkan kepemilikan sara produktif, tetapi kepemilikan segala macam kesempatan hidup yang dihasilkan oleh kekuatan pasar dalam masyarakat. Oleh sebab itu Max Weber mendefenisikan kelas dalam konteks kapasitas individual untuk meraih ganjaran untuk menjual keahliannya di pasar dalam masyarakat.

F.       Agama dan Kapitalisme
Banyak dari karya historis dan komparatif Max Weber terfokus pada pengaruh keyakinan agama terhadap tindakan. Max Weber membangun analisnya tentang faktor-faktor yang mendorong munculnya kapitalisme. Menurut Max Weber, bentuk masyarakat modern merupakan representasi institusional dan rasionalisasi.
Bagi Max Weber moderenitas terbaik dipahami sebagai hasil akhir dari proses rasionalisasi tersebut. Penelitiannya mengenai sejarah diarahkan untuk menjawab pertanyaan mengapa pada masyarakat non barat perkembangan ilmiah, kesenian, politik maupun ekonomi tidak mengikuti jalur rasionalisasi seperti di barat. Max Weber mengungkapkan peranan pemimpin agama dalam mempromosikan berbagai macam ide dan orientasi pada berbagai masyarakay penting.
Max Weber melihat ada keterkaitann antara kehidupan penganut calvinis yang diberi pedoman oleh agama mereka dan jenis prilaku  dan sikap yang diperlukan bagi kapitalisme agar bekerja secara efektif. Weber menjelaskan bagaimana Calvinis didorong untuk memusatkan diri pada pekerjaan duniawi dan pada saat yang sama juga mewujudkan kehiduapan asketis (sederhana, rajin berubadah dan hidup hemat).
Max Weber berpendapat bahwa penekanan pada kreatif dan kerja keras berkombinasi dengan tuntutan agar menjalankan gaya hidup asketis (suatu gaya hidup yang khas bagi agama-agama puritan). Calvinis yakin bahwa mereka tidak akan diberikan ganjaran keselamatan oleh Tuhan kecuali jika mereka sukses dan produktif dalam kehidupan. Oleh karena itu kehidupan harus didedikasikan kepada efesiensi dan rasionalitas untuk memaksimalkan produktivitas mereka.
Disinilah keterkaitannya dengan  kapitalisme, berbeda dengan bentuk ekonomi yang lain. Agar kapitalisme bekerja, maka produktivitas harus tinggi, modal harus diakumulasi, dikonsumsi dengan hemat dan diinvestasikan kembali untuk mengembangkan teknik-teknik produksi yang lebih efesien demi memperoleh keuntungan lebih besar.
Bagi Max Weber, agama telah memainkan peranan kunci dalam pertumbuhan kapitalisme barat, tetapi sebaliknya gagal mengembangkan kapitalisme dimasyarakat lain. Menurut Max Weber bahwa sistem agama rasionallah (Calvinisme) yang memainkan peranan sentral tersebut, sebaliknya pada masyarakat lain, Max Weber menemukan sistem agama yang lebih irrasional, misalnya hinduisme, konfusianisme, tao, dll) merintangi perkembangan sistem ekonomi rasional. Tetapi pada akhirnya agama-agama itu hanya memberikan rintangan sementara, karena sistem ekonomi dan bahkan seluruh struktur sosial masyarakat pada akhirnya akan menjadi rasional.


  •      Emile Durkheim


Emile Durkheim: Sosiologi Sebagai Satu Ilmu Tentang Intregasi Sosial
Bagi para ahli sosiologi, masalah sentral dalam analisa sosiologi adalah menjelaskan keteraturan sosial yang mendasar yang berhubungan dengan proses-proses social yang meningkatkan intregasi dan solidaritas. Inilah masalah utama bagi Durkheim, dan juga salah satu masalah pokok dalam prespektif fungsional masa kini, khususnya bagi Parsons dan pengikutnya. Solidaritas sosial dan intregasi merupakan permasalahan substansif yang diperhatikan Durkheim dalam karya utamanya.
I. Riwayat Hidup Durkheim
Emile Durkheim lahir pada tahun 1858 di Epinal, perkampungan Yahudi di bagian timur Prancis. Ayahnya adalah seorang rabi, dan dia pun mengikuti ayahnya dan menjadi rabi. Namun Durkheim menyimpang dari ajaran ini, dan kemudian ia menjadi orang yang tidak mau tahu tentang agama (agnostik), tetapi masalah-masalah dasar tentang moralitas dan usaha meningkatkan moralitas masyarakat merupakan perhatian pokok selama hidupnya. Pada usia 21 tahun ia diterima di Ecole Normale Superiure setelah dua kali ia gagal dalam tes kompetitif, meskipun ia sangat cerdas. Dia ke Prancis untuk bias sekolah di Lycee Louis-le-grand.
Dia mendapat dukungan dari dua profesornya di Ecole Normale – Fustel de Coulanges dan Emile Boutroux. Dari Coulanges ia mempelajari nilai ilmiah yang kuat dalam penelitian sejarah dan konsensus intelektual dan agama sebagai dasar solidaritas sosial jelas sangat mengesankan baginya. Dari Boutroux ia mempelajari pentingnya untuk mengakui bahwa ada tingkatan-tingkatan kenyataan yang berbeda dan tingkatan-tingkatan kenyataan yang lebih tinggi dapat memperlihatkan sifat-sifat yang muncul yang tidak dapat dijelaskan bahwa dalam hubungannya dengan hubungan sosial yang lebih rendah tingkatannya.
Setelah menamatkan sekolahnya kemudian ia mulai mengajar di sekolah menengah atas (lycees) di Prancis selama satu tahun dan kemudian ia mendapatkan cuti untuk melanjutkan belajarnya di Jerman. Di sana ia mulai diperkenalkan ide mengenai pembedaan antaraGemeinschaft dan Gesellscaft. Pendirian ideologis Durkheim secara pribadi bersifat liberal, walaupun beberapa implikasi konservatif penting dalam karya teoritisnya sebagian karena tekanan yang terlampau mementingkan struktur sosial serta kepatuhan individu terhadap masyarakat secara mutlak untuk perkembangannya. Namun dalam prakteknya dia membela hak-hak individu melawan pernyataan-pernyataan yang tidak adil atas nama masyarakat.
a. Melembagakan Sosiologi sebagai Satu Disiplin Akademis
Pada tahun 1887 dia menjadi ahli ilmu sosial muda yang terpandang berkat pemberian kuliahnya dan artikel yang ditulisnya. Dalam hal itu ia mendapatkan pengangkatan di fakultas pendidikan dan fakultas ilmu sosial di Universitas Bordeaux. Tahun 1896 ia diangkat menjadi professor penuh dalam ilmu sosial. Dua tahun kemudian, tonggak sejarah yang penting dicapai ketika Durkheim mendirikan L’Anee sociologique, jurnal ilmiah pertama untuk sosiologi. Jurnal itu merupakan forum bagi Durkheim untuk beberapa karya tulis perintisnya, banyak sarjana yang bergabung di dalamnya termasuk Simmel, menulis L’Anee. Namun hal itu berhenti setelah pecahnya perang dunia I setelah dua belas kali penerbitan.
Namun sekarang ini pendekatan Durkheim mendominasi sosiologi di Prancis. Tahun 1889 ia ditarik di Sorbonne. Tahun 1906 ia dipromosikan sebagai professor penuh dalam ilmu pendidikan. Pada 1913 kedudukannya diubah ke ilmu pendidikan dan sosiologi dan akhirnya secara resmi sosiologi didirikan dalam lembaga pendidikan yang sangat terhormat di Prancis. Tahun 1917, pada usia 59 tahun ia meninggal dunia.
b. Pengaruh Sosial dan Intelektual terhadap Durkheim
Perhatian Durkheim terhadap solidaritas dan intregasi sosial muncul karena akibat berkepanjangan dari Revolusi Prancis yang meliputi ketegangan yang terus-menerus dan konflik-konflik yang terjadi sewaktu antara kelompok monarki dan kaum republic sayap kiri berlangsung hamper sepanjang abad ke-19. Meskipun hal itu Revolusi Industri tetap maju dan membawa perubahan dalam struktur ekonomi, hubungan sosial, serta orientasi budaya dasar. Nilai, kepercayaan, kebiasaan, hubungan sosial tradisional serta pola-pola mencari nafkah dirombak dan dihancurkan, dan suatu keteraturan sosial industry kota yangbaru sedang muncul. Hal ini mengakibatkan putusnya hubungan dengan keteraturan sosial tradisional.
Sehingga ia bertekad untuk mendorong perubahan pendidikan yang akan menanamkan dalam warganya suatu perasaan kuat akan moralitas umum dan perasaan akan solidaritas terhadap bangsa sebagai satu keseluruhan. Durkheim memandang pengajaran moralitas umum bagi warga dimasa mendatang merupakan hal yang sangat penting untuk memperkuat dasar-dasar masyarakat dan meningkatkan intregasi serta solidaritas sosialnya.
c. Pertentangan dengan Individualisme Spencer
Durkheim berbeda dengan Spencer, pendekatan sosiologinya yang khusus sebagai sesuatu yang bertentangan dengan prespektif Spencer yang lebih individualistis. Pandangan Spencer mengenai masyarakat yang bersifat organis itu berbeda dalam beberapa hal penting dari gambaran Comte dan Durkheim. Bagi Spencer kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hokum evolusi yang universal. Gejala fisik, biologis, dan sosial semuanya tunduk pada hokum dasar ini. Spencer memandang mengenai kemajuan evolusi, keyakinannya akan kemajuan adalah serupa dengan Comte.
Namun Spencer kurang tegas dibandingkan Durkheim dalam mengidentifikasi mekanisme di mana pembagian kerja itu bertambah, menurutnya perkembangan ini hanyalah suatu manifestasi saja dari hokum evolusi yang universal.
Meskipun pandangan Spencer berbeda dengan Durkheim dan Comte, namun Spencer berusaha mendamaikan kedua pandangan ini dengan mengemukakan  perbedaan-perbedaan pokok antara “organisme” biologis dan sosial. Tidak seperti satu organism biologis, suatu masyarakat tidak mempunyai kulit penutup dan tidak mempunyai sumber intelegensi yang sentral atau sumber kontrol yang analogis dengan otak. Sebaliknya, berbagai “bagian” dari masyarakat tersebar dan masing-masing bagian itu memiliki intelegensi dan kontrol dirinya sendiri. Masyarakat tidak terlepas dari individu yang merupakan bagian-bagiannya. Gagasan Comte mengenai masyarakat positivis yang ideal di masa depan adalah masyarakat di mana pemimpin-pemimpin yang senantiasa mendapat penerangan sosiologis akan memberikan kontrol yang kuat dalam mengatur berbagai segi kehidupan sosial untuk memastikan bahwa hokum-hukum dasar yang mengendalikan keteraturan sosial dan kemajuan itu, dipertahankan.
Spencer mengemukakan bahwa masyarakat merupakan hasil persetujuan kontraktual antara individu-individu yang bersepakat untuk mengejar kepentingan individunya. Durkheim menegaskan bahwa kemungkinan untuk merembukkan persetujuan-persetujuan kontraktual itu mengandaikan sudah adanya satu masyarakat. Orang tidak menjalin hubungan kontraktual dengan mereka yang belum memiliki ikatan sosial yang sama. Sekurang-kurangnya sudah ada konsensus moral yang berhubungan dengan sifat kontrak yang mengikat itu.
Spencer melihat masyarakat dibentuk oleh individu-individu, sedangkan Durkheim melihat individu dibentuk oleh masyarakat. Tekanan pada pentingnya tingkatan sosial ini merupakan satu dasar dari Durkheim secara keseluruhan.
II. Kenyataan Fakta Sosial
Asumsi yang mendasari pendekatan Durkheim terhadap sosiologi adalah bahwa gejala sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lain-lainnya.
a. Fakta Sosial Lawan Fakta Individu
Durkheim bertahan pada asumsinya bahwa fakta sosial itu tidak dapat direduksikan ke fakta individu, melankan memiliki eksistensi yang independen pada tingkat sosial.
Karakteristik kelompok mungkin lebih daripada jumlah individu yang meliputi kelompok itu, kelompok tidak dapat ada secara terpisah dari anggota-anggota individualnya. Dalam analisis akhirnya, orang tidak langsung mengamati kelompok sebagai suatu benda fisik. Orang mengambil kesimpulan mengenai eksistensinya dengan mengamati kegiatan dan interaksi individu dengan sesamanya dalam waktu tertentu , atau belajar dari individu-individu yang terlibat yang menerima kelompok itu sebagai riil dan berhubungan dengan kelompok itu.
Dalam masa Durkheim hidup, di bawah pengaruh positivisme, ilmu dilihat sebagai sesuatu yang berhubungan dengan gejala yang riil. Gejala sosial adalah riil secara obyektif, dengan sat eksistensi yang terlepas dari gejala biologis atau psikologis individu.
b. Karakteristik Fakta Sosial
Terdapat tiga karakteristik yang berbeda yang dikemukakan oleh Durkheim, yaitu:
  1. Gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu.
Ini merupakan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang memperlihatkan sifat patut dilihat sebagai suatu yang berbeda di luar kesadaran individu.
  1. Fakta itu memaksa indvidu.
Individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya.
  1. Fakta itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu masyarakat.
Fakta sosial itu merupakan milik bersama, bukan sifat individu perorangan.
c. Strategi untuk Menjelaskan Fakta Sosial
Berikut ini adalah beberapa prinsip yang menjelaskan fakta sosial yang dikemukakan oleh Durkheim.
  1. Fakta sosial harus dijelaskan dalam hubungan fakta sosial lainnya. Kemungkinan lain untuk menjelaskan fakta sosial adalah menghubungkannya dengan gejala individu (kemauan, kesadaran,kepentingan individu lainnya, dll).
  2. Asal-usul suatu gejala sosial dan fungsi-fungsinya merupakan dua masalah yang terpisah. Prinsip ini berhubungan dengan prinsip sebelumnya. Jika sbagai suatu gejala sosial berupa fungsi atau tujuan yang dicapainya, hal ini mengandung implikasi bahwa maksud yang sadar untuk mencapai tujuan serupa it adalah sesuatu yang menghasilkan gejala tertentu yang sudah ditentukan terlebih dahulu.
Metode perbandingan Durkheim lebih ketat dan terbatas. Pada intinya, metode perbandingan terkendali itu meliputi klasifiasi-silang dari fakta sosial tertentu untuk menentukan sejauh mana mereka berhubungan.
Durkheim misalnya mencatat bahwa korelasi statistik antara bunuh diri dan pendidikan terjadi karena kedua variabel itu dipengaruhi oleh “semakin melemahnya tradisionalisme agama”. Teknik seperti ini diuji dengan pengaruh-pengaruh yang mengacaukandari variable-variabel luar yang terkendali, memperlihatkan satu uraian mengenai logika dasar tentang perbandingan terkendali seperti yang dikemukakan oleh Durkheim.
III. Solidaritas dan Tipe Struktur Sosial
Solidaritas menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan/atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
a. Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik
Solidaritas MekanikSolidaritas Organik
  • Pembagian kerja rendah
  • Kesadaran kolektif kuat
  • Hukum represif dominan
  • Individualitas rendah
  • Konsensus terhadap pola-pola normatif itu penting
  • Keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang me-nyimpang
  • Secara relatif saling keter-  gantungan itu rendah
  • Bersifat primitif atau pedesaan
  • Pembagian kerja tinggi
  • Kesadaran kolektif lemah
  • Hukum restitutif dominan
  • Individualitas tinggi
  • Konsensus pada nilai-nilai abstrak dan umun itu penting
  • Badan-badan kontrol sosial yang menghukum orang yang menyimpang
  • Saling ketergantungan yang tinggi
  • Bersifat industrial-perkotaan
b. Kesadaran Kolektif dalam Masyarakat Organik
Kesadaran kolektif itu memberikan dasar-dasar moral yang tidak bersifat kontraktual yang mendasari hubungan-hubungan kontraktual. Durkheim meng-hubungkan pengaruh yang terus-menerus dari kesadaran kolektif ini dengan individualisme yang semakin meningkat dalam masyarakat-masyarakat organik. Kesadaran kolektif ada dalam bentuk yang lebih terbatas dalam berbagai kelompok khusus dalam masyarakat. Dalam solidaritas mekanikyang dinyatakan dalam kelompok agama, ada sejumlah ikatan sosial yang bersifat primordial “mekanik”, seperti kekerabatan, kekuasaan dan komunitas. Ikatan ini tidak akan mempersatukan anggota suatu masyarakat yang kompleks, tetapi merupakan sumber-sumber penting untuk solidaritas-solidaritas kelompok-kelompok inti yang tidak terbilang jumlahnya yang mempersatukan masyarakat seluruhnya.
c. Evolusi Sosial
Kesadaran kolektif yang mendasari solidaritas mekanik paling kuat perkembangannya dalam masyarakat-masyarakat primitif yang sederhana. Dalam masyarakat seperti ini semua anggota pada dasarnya memiliki kepercayaan bersama, pandangan, nilai dan semuanya memiliki gaya hidup yang kira-kira sama. Hal ini tentu ada spesialisasi menurut usia dan jenis kelamin. Pembagian kerjanya sangat elementer yang tidak menghasilkan heterogenitas sosial yang tinggi sehingga cara berpikir dan bertindak yang sama benar-benar dirusakkan. Karena pembagian kerja mulai meluas, kesadaran kolektif pelan-pelan mulai hilang.
IV. Ancaman Terhadap Solidaritas
Dalam masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanik, solidaritas sosial terancam oleh kemungkinan perpecahan kelompok-kelompok kecil yang secara fungsional bersifat otonom dan oleh jenis perilaku menyimpang apa saja yang merusakkan kerusakkan kolektif yang kuat. Peralihan dari solidaritas organik ke solidaritas mekanik tidak selamanya lancer. Karena ikatan sosial primordial yang lama di bidang agama, kekerabatan, dan komunitas dirusak oleh meningkatnya pembagian kerja, mungkin ada ikatan sosial lain yang tidak berhasil menggantikannya. Akibatnya masyarakat menjadi terpecah di mana individu terputus ikatan-ikatan sosialnya, dan di mana kelompok-kelompok yang menjadi perantara individu dengan masyarakat luas tidak berkembang dengan baik.
a. Sumber-Sumber Ketegangan dalam Masyarakat Organik yang Kompleks
Satu ancaman yang penting terhadap solidaritas organik, berkembang dari heterogenitas dan individualitas yang semakin besar yang berhubungan dengan pembagian kerja yang tinggi. Dengan heterogenitas yang tinggi, ikatan bersama yang mempersatukan berbagai anggota masyarakat menjadi kendor. Dalam kelompok individu lebih mengejar kepentingan sendiri dengan merugikan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Solidaritas organik dapat juga rusak karena tekanan yang terlampau berlebih-lebihan terhadap individualisme. Dalamhal ini mereka cenderung untuk berdikari dan mengembangkan kemampuannya sendiri.
b. Intregasi Sosial dan Angka Bunuh Diri
Satu manifestasi utama yang dianalisa Durkheim secara intensif adalah perubahan dalam angka bunuh diri. Dia mengidentifikasikan tiga tipe bunuh diri, yaitu egoistik, anomik, dan altruistik.
Bunuh diri egoistik dan anomik mencerminkan memudarnya intregasi sosial, maka bunuh diri altruistik merupakan hasil dari suatu tingkat intregasi sosial yang terlampau kuat. Bunuh diri altruistik dapat merupakan hasil salah satu dari dua kondisi. Pertama, norma-norma kelompok mungkin menuntut pengorbanan individu. Kedua, norma-norma kelompok itu dapat menuntut pelaksanaan tugas-tugas yang begitu berat untuk dapat dicapai sehingga individu-individu itu mengalami kegagalan walaupun mereka sudah menunjukkan usaha yang paling optimal.
c. Kemunculan dan Dukungan terhadap Solidaritas
Perhatian Durkheim terhadap landasan-landasan moral masyarakat merangsang perkembangan prespektif sosiologi klasiknya pada fungsi-fngsi agama yang bersifat sosial. Bagi dia analisa sosiologis mengenai agama harus mulai dengan pengakuan akan adanya saling ketergantungan antar agama dan masyarakat. Dia memilih mempelajari agama pada masyarakat primitif karena dia merasa bahwa saling ketergantungan ini akan menjadi lebih nyata daripada dalam masyarakat-masyarakat yang sudah maju. Dalam pengalaman kolektif individu-individu merasa dirinya berada dalam suatu suasana di mana hadir suatu kekuasaan yang luar biasa dengan mana mereka menghubungkan dirinya dengan intim sekali. Merasakan pentingnya kekuatan transenden atau yang suci ini, para anggota klan mempunyai satu kebutuhan untuk menghadirkannya bagi mereka sendiri dalam suatu bentuk yang dapat dilihat, dan untuk menjelaskannya kepada mereka sendiri. Pada hakikatnya inilah tujuan benda totem itu. Totem merupakan simbol kehidupan kolektif dan kekuasaan kelompok, dan dilihat oleh anggota-anggota klan itu sebagai sumber kekuasaan luar biasa yang mereka alami. Jadi pembedaan dalam definisi Durkheim mengenai agama antar yang suci dan yang profan, berhubungan dengan pembedaan antara kehidupan kolektif orang-orang dan kehidupan pribadinya.
d. Hubungan antara Orientasi Agama dan Struktur Sosial
Hubungan antara agama dan masyarakat memperlihatkan saling keter-gantungan yang sangat erat.menurut Durkheim, kepercayaan-kepercayaan totemik (atau tipe-tipe kepercayaan agama lainnya) memperlihatkan kenyataan masyarakat itu sendiri dalam bentuk simbolis. Ritus totemik (atau ritus dalam bentuk agama lainnya) mempersatukan individu dalam kegiatan bersama dengan satu tujuan bersama dan memperkuat kepercayaan, perasaan dan komitmen moral yang merupakan dasar struktur sosial. Tantangan bagi mereka yang mengambil prespektif Durkheim mengenai agama adalah benar-benar menunjukkan setepat mungkin bagaimana kepercayaan agama tertentu atau ritus-ritus mencerminkan atau memperkuat struktur sosial dan prinsip-prinsip moral yang menjadi landasannya.
e. Agama dan Masyarakat Modern
Analisa Durkheim tentang perasaan gembira emosional yang bertalian dengan upacara ritus kolektif mungkin agak tidak pada tempatnya untuk masyarakat masa kini. Durkheim merasa bahwa kurangnya gairah hidup dalam bentuk-bentuk agama di masa hidupnya merupakan gejala rendahnya tingkat solidaritas di dalam masyarakat. Meskipun demikian dia percaya bahwa hal ini akan berubah pada suatu saat, karena jenis-jenis pengalaman kolektif yang baru melahirkan bentuk-bentuk solidaritas yang baru dan bentuk-bentuk baru untuk memperkuat solidaritas. Meskipun tingkat kegairahan emosional kurang, pertemuan-pertemuan atau perayaan nasional dapat dengan mudah dimengerti menurut prespektif Durkheim mengenai ritus agama. Pada kesempatan-kesempatan itu, anggota komunitas berkumpul bersama untuk memperkuat kembali nilai-nilai dasar atau memperingati peristiwa penting dalam sejarah mereka bersama. Alat dengan nama peringatan dan penegasan ini berlangsumg sebagian besar bersifatritualistik.
Teori Durkheim dapat dikecam karena terlalau sepihak menekankan solidaritas. Dalam membela Durkheim, orang mungkin memberikan argumentasi balasan bahwa kekompakan dan solidaritas harus diharapkan hanya dalam kelompok agama itu sendiri saja.
f. Asal-usul entuk-bentuk Pengetahuan dalam Masyarakat
Menjelang akhir buku The Elementary Form, Durkheim memperluas pokok pikiran utamanya dengan mengemukakan bahwa tidak hanya pemikiran agama melainkan juga pengetahuan pada umumnya berlandaskan pada dan mencerminkan dasar sosialnya. Pada tingkat yang lebih dalam Durkheim mengemukakan bahwa kategori-kategori berpikir yang dasar (waktu, ruang, kelas, kekuatan, sebab, dan lain-lain) muncul dari kehidupan sosial dan mencerminkan struktur sosial. Dalam melihat analisa tentang asal-usul pengetahuan dalam masyarakat, jelaslah bahwa pemikiran agama dan pemikiran ilmiah ditentukan oleh kondisi dan mencerminkan tipe struktur sosial di mana pemikiran-pemikiran itu muncul. Kategori-kategori pemikiran itu pada dasarnya merupakan parameter bagi para ilmuwan yang bekerja dalam penelitiannya mengenai pengetahuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar